Sejarah Kutowinangun
Sejarah Kutowinangun
Nama Kutowinangun tidak bisa dilepaskan dari nama tokoh Pangeran Mangkubumi yang merupakan seorang bangsawan Mataram, adik Sultan Agung Hanyokrokusumo ( Raja Mataram) Putra ketiga dari istri pengrambi Panembahan Senopati (Raja Pertama Kerajaan Mataram) yang menjabat dalam bidang pengadilan ( jaksa agung dan hakim agung ) sekaligus penasehat agung kerajaan pada masa kepemimpinan Sunan Amangkurat I meninggalkan kerajaan akibat perselisihannya dengan raja yang bertindang sewenang-wenang hingga akhirnya sampai menetap di desa Karang dengan mengganti namanya menjadi Kyai Bumi ( Kyai Bumi Dirjo ) hingga wafatnya, dan Tokoh Ki Margonoyo yang merupakan cucu dari Kyai Bumi yang diangkat sebagai pemimpin di Kutowinangun dengan sebutan Demang Honggoyudo, serta tokoh Jaka Sangkrip alias Surawijaya yang pada saat menjabat Mantri Gladag oleh Raja Mataram (Kartasura) diberi nama Kiai Honggowongso karena atas jasanya memadamkan pemberontakan Damar Wulan dan Menak Koncar di Banyumas yang kemudian diambil sebagai menantu oleh patih Kartasura dan diangkat sebagai Bupati Sewu Numbak Anyar bergelar Tumenggung Arung Binang di Surakarta.
Dalam Perjalanan Sejarah Kutowinangun dikutip dari Buku Jejak Kesejarahan Kebumen yang diterbitkan oleh Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Kebumen Tahun 2018 BAB II Penelusuran Jejak Kesejarahan Kebumen dalam sumber cerita Rakyat (Folklore) Bahwa pada Masa Kerajaan Mataram Nama Kutowinangun tahun 1678 semula bernama Désa Karangwono yang pada saat itu merupakan sebuah daerah kecil yang dipimpin oleh Ki Ragil atau Pangeran Haryo Prawirobumi II putra Ki Bekel atau Pangeran Haryo Prawirobumi I (Pangeran Maduretno) cucu kyai Bumi Dirjo dan berada dalam masa Pemerintahan Kadipaten Panjer Rooma Dibawah kepemimpinan Ki Kertowongso atau Kiai Gede Panjer Rooma III atau Kanjeng Raden Adipati Tumenggung ( K.R.A.T ) Kolopaking I yang memerintahkan para senopati nya agar mengumpulkan para Pemuda untuk dilatih dan dijadikan prajurit Panjer Rooma yang Pusat pelatihannya berada di Desa Karangwono, serta menugasi Ki Margonoyo untuk melayani segala keperluan perlengkapan senjata dan konsumsi para prajurit Panjer Rooma tersebut.
Dalam perkembangannya Desa Karangwono yang menjadi pusat penggemblengan prajurit yang semula sepi kemudian dirombak dan dibangun kembali beberapa tempat pelayanan masyarakat hingga menjadi désa yang ramai. Sebagai penghargaan dari Mataram Pangeran Puger beserta sesepuh Kraton Mataram pada tanggal 26 Nopember 1678 Desa Karangwono tersebut diganti namanya menjadi Kutowinangun yang secara akronim kosa kata terdiri dari kata KUTO yang artinya Kota, dengan suasana keramaian disertai kepadatan penduduk; WI yang diterjemahkan sebagai ; bagaikan; sepada; serupa ; setara maupun seimbang; NANGUN dan atau WANGUN yang artinya layak, pantas bahkan luwes sehingga Kutowinangun dapat diartikan sebagai Layak Bagaikan Kota serta mengangkat dan menetapkan Ki Honggoyudo sebagai pemimpin dengan sebutan Demang Kutowinangun bergelar Kyai Raden Honggoyudho dibawah Kadipaten Panjer Rooma yang dipimpin oleh Ki Kertowongso atau Kiai Gede Panjer Rooma III atau Kanjeng Raden Adipati Tumenggung ( K.R.A.T ) Kolopaking I.
Dalam Perjalanan sejarah pemerintahan Kutowinangun tahun 1600-1647 pada masa pemerintahan Sultan Agung (Mataram Kerta), Kadipaten Panjer Rooma sendiri merupakan wilayah dibawah Karesiden Bagelen dengan ibukota Karesidenan di Brinkeleen atau Brengkelan yang sekarang lebih dikenal sebagai Purworejo yang Letaknya di barat Kali Bogowonto, berbatasan dengan Kulonprogo.
Pada struktur wilayah Mataram (Kerta) saat itu, Kutowinangun merupakan menjadi bagian dari wilayah negaragung Mataram Islam. Negaraagung sendiri merupakan suatu wilayah di luar Negara yang berisi tanah mahosan dalem atau tanah yang diperuntukkan bagi pemasukan pajak ke kas keraton dan tanah jabatan para bangsawan keraton. serta pejabat kerajaan yang tinggal di dalam Negara. Wilayah Negaragung terbagi menjadi delapan wilayah, dimana Bagelen disebut sebagai “Siti Numbak Anyar” (daerah Bagelen antara Sungai Bogowonto sampai sungai Progo) meliputi 6.000 cacah dan menjadi lumbung beras serta penyedia logistik bagi keperluan prajurit perang.
Setelah Mataram dipecah sigar semangka dalam Perjanjian Giyanti (1755) wilayah Negaraagung pada masa Kerajaan Mataram, terjadi pembagian wilayah Bagelen dimana Kutowinangun dinyatakan sebagai Tanah lungguh yaitu tanah gaduhan raja untuk para pangeran dan pejabat kerajaan untuk Kasunanan Surakarta sedangkan Panjer (Kebumen) sebagai Tanah Mahosan Dalem yaitu tanah lungguh milik raja.
Pada Tahun 1825-1830 ketika berlangsungnya Perang Jawa atau Perang Diponegoro dan sebagai akibat dari kekalahan Perang Jawa tersebut terjadilah apa yang disebut sebagai "peralihan nagari", yaitu terlepasnya “mancanegara” Bagelen yang semula merupakan lumbung padi bagi Kasultanan Mataram baik Surakarta maupun Yogyakarta. (Sebagai kompensasi atas biaya dan kerugian yang sangat besar diderita VOC, sekaligus hukuman terhadap baik Yogya maupun Surakarta). Dengan ditandatanganinya perjanjian 22 Juni tahun 1830 yang kemudian disusul dengan perjanjian 3 November 1830, Bagelen resmi menjadi wilayah Residensi Belanda, hanya beberapa bulan setelah selesainya Perang Jawa. Pusat pemerintahan adalah di Brengkelan (Brinkeleen) sebagai ibu kota.
Setelah tanggal 23 Agustus 1832, sejak Adipati Tjokronegoro I yang diangkat oleh Van den Bosch menjadi Bupati I di Brengkelan, daerah Bagelen mulai dibangun dan ditingkatkan, dan kemudian wilayah Bagelen dijadikan Karesidenan Bagelen yang sebelumnya hanya meliputi Purworejo dan Kebumen, setelah menjadi Residensi Bagelen kemudian diperluas, dan terdiri atas Afdeeling Purworejo, Kebumen serta Wonosobo.
Pasca Perang Jawa berakhir, Kabupaten Panjer Rooma bersama Karanganyar, Ambal menjadi regentschap (kabupaten) Kebumen dan berada di bawah Karesidenan Bagelen (1830-1900) dan kemudian pada (1901-1945) Kabupaten Kebumen berada dibawah Karesidenan Kedu . Sedangkan Kutowinangun menjadi district (kawedanan) dan dipimpin oleh seorang Wedono yang wilayahnya meliputi Kecamatan Kutowinangun, Kecamatan Ambal, dan Kecamatan Buluspesantren dibawah kabupaten Kebumen dengan Pusat Tata Pemerintahan berada di wilayah Kecamatan Kutowinangun.
Dihimpun dari berbagai sumber