Sejarah Perkembangan Administrasi Kecamatan dan Desa Dari Masa ke Masa

Sejarah Perkembangan Administrasi Kecamatan dan Desa Dari Masa ke Masa
Kecamatan, sebagai salah satu unit pemerintahan di Indonesia, mungkin terdengar akrab bagi banyak orang. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa struktur dan fungsi kecamatan yang kita kenal hari ini merupakan hasil dari perjalanan panjang yang penuh dinamika, baik secara politik, sosial, maupun hukum. Dari masa kerajaan tradisional hingga zaman kolonial, dari era kemerdekaan hingga reformasi, pembagian wilayah administrasi di Indonesia terus mengalami penyesuaian seiring dengan perubahan sistem pemerintahan dan kebutuhan masyarakat.
“Sejarah bukan hanya soal masa lalu, melainkan cermin bagaimana bangsa ini membentuk dirinya hari ini.”— Prof. Sartono Kartodirdjo, sejarawan Indonesia. Pemerintahan lokal di Indonesia memiliki akar panjang yang menjangkau jauh sebelum negara modern terbentuk. Di masa lalu, pemerintahan desa dan wilayah tingkat menengah dijalankan melalui struktur-struktur adat dan kerajaan, seperti kadipaten, kademangan, dan kawedanan. Struktur ini erat kaitannya dengan konsep patrimonial dan kewibawaan simbolik seorang raja atau adipati, bukan berdasar pembagian administratif yang kaku sebagaimana dikenal dalam sistem birokrasi modern.
Di masa kerajaan Mataram Islam, misalnya, wilayah kerajaan dibagi menjadi beberapa “kawedanan” dan “kapanewon” yang dipimpin oleh pejabat istana sebagai perpanjangan tangan Raja. Para pejabat ini tak hanya mengatur administrasi, tetapi juga menjaga ketertiban, memungut pajak, dan melaksanakan kehendak penguasa pusat di wilayahnya. Sistem ini mengakar kuat karena didukung oleh adat, loyalitas, dan sistem sosial tradisional.
Namun, datangnya kekuasaan kolonial Belanda membawa perubahan drastis. Dalam upaya mengefektifkan penguasaan wilayah, pemerintah kolonial mulai menerapkan sistem administratif yang terstruktur dan hirarkis. Dengan diberlakukannya Reorganisatie Wet 1925 dan Indische Staatsregeling 1927, pemerintahan kolonial menetapkan pembagian wilayah menjadi keresidenan (residency), afdeeling (setingkat kabupaten), onderdistrict (setingkat kecamatan), dan desa. Dalam struktur ini, muncul sosok wedana sebagai pemimpin onderdistrict, yang bertindak sebagai penghubung antara bupati dan kepala desa
Menurut sejarawan Pramoedya Ananta Toer, “Sistem pemerintahan kolonial membangun birokrasi yang rapi bukan untuk rakyat, tapi demi kelangsungan penguasaan.” (Catatan dalam Arus Balik, 1995). Meskipun demikian, struktur administratif tersebut menjadi warisan yang kemudian diadaptasi oleh Republik Indonesia pasca kemerdekaan.
Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), terjadi perubahan nomenklatur administratif dengan semangat mobilisasi total untuk kepentingan perang. Kawedanan diubah menjadi Gun, kabupaten menjadi Ken, dan keresidenan menjadi Syu. Pemerintahan dijalankan dengan sistem militeristik yang sangat sentralistis. Meskipun hanya berlangsung sekitar tiga tahun, pola kendali langsung atas rakyat dari tingkat pusat hingga desa ini memperkuat sentralisasi administratif yang kelak diadopsi kembali oleh Orde Baru.
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, struktur pemerintahan lokal tidak langsung berubah total. Pemerintah Indonesia saat itu tetap mempertahankan bentuk administratif warisan kolonial, tetapi mulai menyesuaikannya dengan semangat republik. Berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No. 3 Tahun 1945, sistem keresidenan, kabupaten, dan kawedanan tetap digunakan sebagai bentuk transisi. Namun, peran mereka diposisikan dalam kerangka pemerintahan nasional yang demokratis.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Susunan Kekuasaan Pemerintahan Daerah menjadi tonggak awal dalam pembentukan sistem pemerintahan daerah. Namun, istilah “kecamatan” baru dikenal secara resmi setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dan kemudian lebih tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam pasal-pasalnya, kecamatan ditetapkan sebagai wilayah kerja camat yang merupakan perangkat dari pemerintah kabupaten.
Prof. Harun Alrasyid, pakar hukum tata negara, menyebut bahwa: “Struktur kecamatan pada masa Orde Baru dirancang bukan sebagai wilayah otonom, tetapi sebagai perpanjangan tangan dari pusat, dengan camat sebagai ‘commander’ yang menjembatani pusat ke desa.” (dalam seminar Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 1999) Baru pada era reformasi, dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan diperbarui menjadi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kecamatan ditegaskan sebagai bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, bukan lagi wilayah otonom. Fungsi utamanya diarahkan pada koordinasi, fasilitasi, dan pelayanan publik, bukan pengambilan keputusan kebijakan seperti daerah otonom.
Jejak sejarah panjang ini menunjukkan bahwa pembentukan kecamatan bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Ia lahir dan tumbuh dari dialektika antara struktur tradisional, kekuasaan kolonial, serta dinamika pembangunan bangsa Indonesia. Dari fungsi pengawasan zaman kolonial hingga peran fasilitasi pelayanan publik era modern, kecamatan telah menjelma menjadi bagian tak terpisahkan dari wajah pemerintahan lokal di Indonesia.
Perkembangan Administrasi Kecamatan Secara Umum di Indonesia
Masa Sebelum Kolonial (hingga abad ke-17).
Sebelum Indonesia menjadi negara modern dengan masuknya kekuasaan kolonial, sistem pemerintahan di kepulauan Nusantara umumnya berbentuk kerajaan dengan sistem kekuasaan yang terdesentralisasi. Pembagian wilayah dilakukan secara tradisional, berdasarkan pengaruh kekuasaan lokal dan adat-istiadat yang berlaku.
Pada masa kerajaan-kerajaan seperti Majapahit, Demak hingga Mataram Islam, belum ada istilah kecamatan. Yang dikenal adalah Kadipaten, Kawedanan, dan Kalurahan. Pemimpin wilayah disebut Adipati atau Wedana, yang mengatur wilayah atas perintah raja. Misalkan pada era kerajaan Mataram Islam wilayah, dibagi dalam struktur tradisional seperti Kadipaten, Kawedanan, dan Kalurahan. Pemerintahan bersifat patrimonial, berdasarkan kekuasaan bangsawan dan hukum adat. Kecamatan sebagai istilah belum dikenal; peran setara camat dipegang oleh para Wedana atau Demang. istilah kapanewon dan kawedanan yang merujuk pada unit wilayah di bawah kendali panewu atau wedana, yang bertanggung jawab kepada adipati sebagai pejabat penguasa daerah. Struktur ini bukan sekadar administratif, tetapi juga bersifat sosial dan kultural, mencerminkan tata nilai masyarakat feodal
Masa Kolonial Belanda (±1602–1942)
Sistem Pemerintahan Modern Pertama Era Kolonial Belanda memperkenalkan struktur administratif modern. Wilayah dibagi menjadi Gewest (Karesidenan); Afdeeling (Kabupaten); Onderdistrict (setara Kawedanan/Kecamatan) yang ditetapkan melalui Staatsblad No. 83 Tahun 1906 (untuk Jawa dan Madura) dan Staatsblad No. 490 Tahun 1938 (untuk luar Jawa) Pejabat seperti Controleur dan Wedana menjadi representasi kolonial di tingkat lokal.
Ketika Hindia Belanda secara resmi menjadi koloni Kerajaan Belanda pada awal abad ke-19, pemerintah kolonial melakukan reorganisasi pemerintahan lokal guna memperkuat kontrol administratif dan ekonomi, wilayah administratif dibagi secara hierarkis ke dalam keresidenan (residentie), afdeling (kabupaten), onderdistrict (setingkat kecamatan), dan desa yang ditetapkan Berdasarkan Reorganisatiewet 1854 dan diperkuat dengan Indische Staatsregeling 1927
Pada tingkat onderdistrict, jabatan kepala wilayah dikenal dengan sebutan "controleur" yang kemudian digantikan oleh "wedana" sebagai pemimpin lokal. Meskipun memiliki fungsi administratif, sistem ini dibuat untuk menunjang kepentingan eksploitasi kolonial dan pelestarian kontrol terhadap pribumi.
Masa Pendudukan Jepang (1942–1945)
Pendudukan Jepang mempertahankan pembagian wilayah kolonial akan tetapi membawa perubahan drastis dalam nomenklatur dan sistem pemerintahan. keresidenan menjadi Syu kabupaten menjadi Ken, Kawedanan diubah menjadi Gun dipimpin oleh Guncho, Desa menjadi Son dan, sesuai dengan struktur pemerintahan militer Jepang. Struktur ini mempertegas kendali militer langsung hingga ke tingkat desa. Para pejabat lama tetap dipertahankan, namun berada di bawah komando militer Jepang Pemerintahan dijalankan oleh militer Jepang berdasarkan peraturan Osamu Seire. Kendati hanya berlangsung tiga tahun, sistem ini memperkenalkan pola kendali vertikal yang kelak berpengaruh pada struktur Orde Baru.
Masa Kemerdekaan dan Revolusi (1945–1950)
Pasca proklamasi, struktur administratif kolonial tetap dipertahankan. Berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945 UU No. 1 Tahun 1945, dibentuklah Komite Nasional Daerah. Camat mulai menggantikan posisi Guncho atau Wedana. struktur administratif lama tetap digunakan. Kecamatan digunakan bersamaan dengan Kawedanan. Tokoh penting: Mohammad Hatta dan Menteri Dalam Negeri Mr. Wiranatakusumah.
Masa Orde Lama (1950–1965)
UU Darurat No. 1 Tahun 1957 dan UU No. 18 Tahun 1965 yang ditetapkan Presiden Soekarno dan disahkan oleh DPR-GR Kecamatan Mulai Diakui dengan diperkuat sebagai struktur resmi menggantikan Kawedanan secara bertahap dan memperkuat eksistensi kecamatan sebagai unit administratif kabupaten. Namun, Kawedanan masih digunakan di beberapa daerah.
Masa Orde Baru (1966–1998)
Sentralisasi Kecamatan menjadi perpanjangan tangan pusat semakin kuat dan camat berperan penting dalam pengawasan pembangunan dengan disahkan nya UU No. 5 Tahun 1974 oleh Presiden Soeharto pada 23 Juli 1974 semakin memperjelas posisi kecamatan sebagai perpanjangan tangan bupati. Kawedanan dihapus secara bertahap. Camat menjadi pejabat struktural yang ditunjuk oleh Bupati/Wali Kota.
Era Reformasi dan Otonomi Daerah (1999–sekarang)
Reformasi membawa perubahan besar karena bukan lagi menjadi wilayah otonom Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang disahkan pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, UU No. 32 Tahun 2004 yang disahkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati, dan UU No. 23 Tahun 2014 yang disahkan pada masa pemerintahan Presiden SBY , serta PP No. 17 Tahun 2018 yang disahkan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, kecamatan menjadi wilayah kerja perangkat daerah kabupaten. Camat diangkat oleh bupati/wali kota dan fokus bertugas melaksanakan sebagian kewenangan bupati dalam koordinasi pemerintahan dan pelayanan publik.
Perkembangan Wilayah Kecamatan Kutowinangun
Kecamatan Kutowinangun merupakan salah satu kecamatan tertua di Kabupaten Kebumen. Sebelum sistem kecamatan diperkenalkan secara formal, wilayah ini merupakan bagian dari Kawedanan Kutowinangun yang dipimpin oleh seorang Wedana. Berdasarkan catatan kolonial, wilayah ini sudah menjadi onderdistrict pada awal abad ke-20 dan menurut historis Kecamatan Kutowinangun pada dekade 1960-an, jumlah desa sempat mencapai lebih dari 25 karena adanya beberapa dukuh yang berstatus desa administratif, namun kemudian dilebur pada masa penataan wilayah di era Orde Baru kemudian digabung atau dimekarkan kembali. Saat ini (2025), Kecamatan Kutowinangun terdiri dari 19 desa.
Secara formal Penetapan wilayah Kecamatan Kutowinangun sebagai kecamatan definitif mengacu pada UU No. 5 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1979 tentang Pembentukan dan Susunan Kecamatan, Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah serta Keputusan Bupati Kebumen yang menyesuaikan batas administratif dan jumlah desa berdasarkan kebutuhan pembangunan dan pemerintahan.
Dalam struktur pemerintahan, desa merupakan unit pemerintahan terkecil yang memiliki peran strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Transformasi politik dan hukum yang terjadi dalam perjalanan sejarah Indonesia telah memengaruhi corak dan bentuk administrasi desa. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana administrasi desa mengalami perubahan, serta regulasi yang melatarbelakanginya
Sejarah perubahan administrasi pemerintahan desa di Indonesia mencerminkan dinamika relasi antara negara dan komunitas lokal dalam konteks sosial-politik yang terus berubah dari masa ke masa. Pada masa kolonial Hindia Belanda, struktur pemerintahan desa telah diatur secara formal melalui Staatsblad 1906 No. 83 dan diperbarui dengan Staatsblad 1938 No. 490, yang pada intinya menempatkan desa sebagai satuan masyarakat hukum adat, namun dalam kerangka subordinasi terhadap pemerintahan kolonial. Lurah atau kepala desa saat itu diangkat oleh pejabat kolonial dan difungsikan sebagai perpanjangan tangan dalam pengumpulan pajak, tenaga kerja, serta kontrol sosial atas masyarakat desa. Meskipun demikian, eksistensi desa sebagai komunitas dengan struktur lokal yang khas masih diakui, meski dibatasi.
Pasca kemerdekaan tahun 1945, pemerintahan desa mengalami fase transisi dan pencarian bentuk baru dalam tatanan kenegaraan yang merdeka. UUD 1945 Pasal 18 memberikan pengakuan terhadap satuan pemerintahan yang memiliki kekhususan atau bersifat asli, yang secara implisit mencakup desa. Namun pada masa awal kemerdekaan hingga Orde Lama, belum terdapat regulasi khusus yang mengatur secara komprehensif tentang pemerintahan desa. Meskipun demikian, pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 menjadi tonggak penting karena mengakui hak-hak masyarakat hukum adat termasuk hak ulayat atas tanah, yang relevan dengan peran desa sebagai pengelola tanah kas desa (tanah bengkok). Pada masa ini, desa masih mempertahankan identitas sosial-budaya lokalnya, meskipun pengaturannya bersifat umum dan belum terstandarisasi secara administratif.
Perubahan drastis terjadi pada era Orde Baru dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Melalui undang-undang ini, negara secara sistematis melakukan penyeragaman model pemerintahan desa di seluruh Indonesia. Desa didefinisikan sebagai satuan pemerintahan terendah yang bersifat administratif, dipimpin oleh Kepala Desa dengan struktur organisasi yang seragam, seperti Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Kebijakan ini mengabaikan keberagaman bentuk pemerintahan lokal yang sebelumnya hidup berdampingan secara otonom, seperti nagari di Minangkabau atau huta di Batak. Konsekuensinya, banyak sistem sosial lokal mengalami marginalisasi, dan fungsi desa beralih lebih sebagai perpanjangan birokrasi negara daripada sebagai komunitas otonom.
Memasuki era Reformasi, terjadi desentralisasi kekuasaan yang ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Melalui peraturan ini, desa mulai memperoleh kembali otonomi dalam mengatur urusan rumah tangganya, meskipun masih berada di bawah pengawasan kabupaten/kota. Dalam undang-undang ini, desa diakui sebagai entitas yang memiliki kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa, namun belum sepenuhnya mandiri baik secara administratif maupun fiskal. Otonomi desa masih dibatasi oleh kebijakan kabupaten/kota yang menjadi pembina dan pengawas utama.
Puncak reformasi desa tercapai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang ini merupakan tonggak historis yang mengafirmasi desa sebagai subjek hukum publik yang otonom dan memiliki hak untuk mengatur serta mengurus kepentingan masyarakat lokal berdasarkan hak asal-usul dan kearifan lokal. UU Desa 2014 membedakan antara desa administratif dan desa adat, mengakui eksistensi kelembagaan desa secara fungsional dan kultural. Penguatan kelembagaan desa juga ditandai dengan dihadirkannya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai mitra dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, serta alokasi Dana Desa dari APBN yang menjamin keberlangsungan fungsi pelayanan publik dan pembangunan desa. Dengan demikian, UU ini tidak hanya memberikan kepastian hukum dan otonomi bagi desa, tetapi juga membuka ruang partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan berbasis lokalitas.
Perjalanan panjang ini menunjukkan bahwa posisi desa dalam sistem pemerintahan Indonesia telah melalui berbagai fase: dari subordinasi kolonial, marginalisasi dalam sistem sentralistik Orde Baru, hingga penguatan peran dan otonomi dalam era demokratis. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menandai fase baru pengakuan terhadap desa sebagai entitas sosial-politik yang otonom dan strategis dalam pembangunan nasional berbasis kerakyatan.
Berikut Daftar Nama Desa di Wilayah Kecamatan Kutowinangun Kabupaten Kebumen
- Desa Pekunden
- Desa Tanjungmeru
- Desa Kuwarisan
- Desa Kutowinangun
- Desa Lundong
- Desa Mekarsari
- Desa Babadsari
- Desa Ungaran
- Desa Mrinen
- Desa Pejagatan
- Desa Triwarno
- Desa Korowelang
- Desa Jlegiwinangun
- Desa Lumbu
- Desa Tanjungsari
- Desa Tunjungseto
- Desa Kaliputih
- Desa Pesalakan
- Desa Karangsari
Diperbarui :
di Kutowinangun (15/06/2025)